Minggu, 15 Maret 2009

Netralkah Sains itu?

To members of Ensiklopedia Mukjizat Alquran & Hadis



Salah satu hal kontroversi yang sering dibicarakan orang adalah masalah sains, apakah netral atau tidak? Banyak orang yang mengatakan bahwa sains bersifat netral, tidak jahat dan tidak pula baik, dan bahwa yang jahat atau yang baik adalah mereka yang menggunakannya.

Memang demikianlah tampaknya jika kita hanya meninjau sekelumit saja, ambil contoh Ilmu kimia yang mengajarkan hukum kekekalan massa dan kekekalan materi, bahwa : “Alam semesta ini tidak pernah diciptakan, tetapi ada selama-lamanya, sejak waktu yang tak berhingga di waktu lampau sampai waktu tak berhingga yang akan datang”. Pada batas inilah, Sains menjadi tidak netral karena mengandung potensi persepsi dan keyakinan yang berbahaya.
Bahaya ini tentu saja tidak akan menimpa insan yang pendidikan agamanya kuat, tetapi bagi mereka yang imannya tidak begitu kuat, goncangan akan terjadi dalam menghadapi ketidakselarasan antara sains yang mengajarkan kekekalan materi yang tidak pernah diciptakan, dan agama yang mengajarkan bahwa segala sesuatu diciptakan Tuhan Yang Maha Esa. Krisis komunikasi antara anak dan orang tua akan terjadi, dan pengingkaran terhadap agama akan terus berlanjut.

Contoh lain, Para pakar menggunakan unsur “kebetulan” untuk mengingkari penciptaan makhluk-makhluk hidup oleh Tuhan Sang Pencipta. Mulai dari terbentuknya untaian DNA dari molekul-molekul sampai pembentukan gen-gen dan kromosom, serta evolusinya menjadi berbagai jenis makhluk hidup termasuk manusia, semua terjadi karena kebetulan saja. Tidak ada yang mengarahkan, tidak ada yang mengatur. Alam mengatur dirinya sendiri dengan hukum kebolehjadian; menyebut nama Allah mereka jadikan tabu, dan mereka ingin menghindari didalam setiap perbincangan ilmu. Netralkah biologi?

Begitu juga halnya ilmu pengetahuan yang kita pelajari selama ini dari ilmu-ilmu lain, misalnya Fisika, Astronomi dan sains pada umunya, tidak dapat dikatakan netral, melainkan mengandung nilai-nilai yang menyusup melalui konsensus para pakar yang mengembangkannya. Sains sarat dengan nilai kebudayaan mereka. Dan karena sains telah sejak lama terlepas dari tangan umat Islam, jatuh ke dalam tangan bangsa Eropa yang mempunyai kebudayaan lain ( berangkat dari sekulerisme), maka sains berkembang selama berabad-abad dalam lingkungan dan nilai-nilai yang tidak islami. Mereka memasukan agama ke dalam kelompok ilmu lain, yang dalam kategori mereka disebut bagian dari metafisika, bukan fisika.

Karena itulah perlu dibangun sebuah sains yang “di-Islamkan”, Hal ini tidak berarti, misalnya, kita harus mengubah rumus-rumus reaksi kimia yang kebenarannya telah terbukti melalui eksperimentasi, atau mengubah teori yang mempunyai pegangan kuat, melainkan kita harus memagarinya agar anak-anak kita tidak terjerumus ke dalam ajaran-ajaran yang bertentangan dengan agama kita.

Kita juga harus menjelaskan bahwa sains berkembang melalui tahapan, yang pada akhirnya ia akan bersesuaian juga dengan Alquran. Jika masih terdapat perbedaan maka ada dua kemungkinan : pertama, sains masih berada dalam tahapan yang sesat pada saat itu karena kurangnya data atau informasiyang diperolehnya; atau kedua, justru pemahaman kita tentang ayat tersebut yang kurang benar.
(Dikutip dari Ensiklopedia Mukjizat Alquran & Hadis, Buku 8 : Kemukjizatan Penciptaan Bumi, hal 191-220)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar